A G A R S E H A T J A S M A N I & R O H A N I
M E N I K A H L A H....
Nikah Siri
Dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yang menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaannya adalah Anda tak mempunyai bukti otentik bila telah menikah atau dengan kata lain tak mempunyai surat sah sebagai seorang warga negara yang mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum, sebaiknya menikahlah secara formal. Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami sehingga harus berpisah, sedangkan anda tak mempunyai bukti yang kuat secara hukum.
Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yang nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya. Oleh karena jangan jadikan nikah sirri hanya sebagai jalan pintas untuk keluar dengan mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu untuk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
Nikah Siri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Latar Belakang Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri atau sir yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama tapi tidak sah menurut negara karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Nikah siri juga disebut dengan Nikah di Bawah Tangan. Permasalahan Nikah Siri Kata siri yang berarti rahasia, hal tersebut merujuk pada rukun islam tentang perkawinan yaitu sah perkawinan apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara.
Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran. Status Anak Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Sedangkan status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka status anak dikatakan di luar nikah. Namun secara agama hak status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah.
Persyaratan Menikah Dengan WNA.
Jika anda seorang perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA), ada beberapa hal yang perlu anda ketahui.
- Perkawinan Campuran Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.
- Sesuai dengan UU Yang Berlaku Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
- Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, –anda dan calon suami anda,– (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan). Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
- Surat-surat yang harus dipersiapkan Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni: a. Untuk calon suami Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan “Surat Keterangan” yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan: Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport) Fotokopi Akte Kelahiran Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin; atau Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau Akte Kematian istri bila istri meninggal Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia. b. Untuk anda, sebagai calon istri Anda harus melengkapi diri anda dengan Fotokopi KTP Fotokopi Akte Kelahiran Data orang tua calon mempelai Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan.
- Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan) Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
- Legalisir Kutipan Akta Perkawinan Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Kehakiman dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia.
- Konsekwensi Hukum Ada beberapa konsekwensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah perkawinan berlangsung. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74). 8. UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa: anak yang lahir hasil kawin campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Karena status kewarganegaraan ganda ini hanya diberikan kepada anak hasil perkawinan campuran saja, setelah usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu selama 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, harus memilih salah satu kewarganeraan yang dimilikinya.
Khusus untuk WNI menikah dengan WNA
Menurut hukum Indonesia, WNI yang terikat perkawinan sah dengan WNA yang memperoleh hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UU PA”) yaitu: Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha. Mengenai ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU PA, Retno S. Darussalam, S.H.dalam artikel berjudul Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA) menjelaskan: Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian kawin tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam hal akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta.
Jadi, berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa selama tidak ada perjanjian pra-perkawinan, maka WNI yang terikat perkawinan dengan WNA juga harus melepaskan hak-hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Bangunan ataupun Hak Guna Usaha) yang dia miliki sebelum menikah (maksimal 1 tahun setelah menikah).
Di Indonesia masih banyak orang yang enggan membuat prenup karena merasa repot mengurusnya dan dinilai “perhitungan” sebagai bentuk keraguan kepada pasangan di masa depan. Hal ini dikarenakan isi prenup mengatur pemisahan harta kedua belah pihak. Sebenarnya isi prenup bisa sangat bervariasi. Prenup bisa membahas mengenai kesepakatan apa pun yang dianggap perlu bagi pasangan tersebut, misalnya perjanjian tentang siapa yang mengelola keuangan atau berapa besar uang bulanan yang harus diberikan suami kepada istri.
Untuk pasangan yang berbeda agama, prenup juga bisa berisi tentang bagaimana pendidikan dan pemilihan agama bagi anak-anak nantinya. Prenup memiliki kekuatan hukum jika disahkan oleh notaris dan didaftarkan di pengadilan negeri setempat. Hanya jangan lupa, keterangan menikah dengan prenup juga harus ditulis dalam sertifikat atau buku nikah. ******************************************************
Pelaku kawin campur di haruskan melepaskan kewarganegaraanya setelah satu tahun masa perkawinan (begitu ya kira kira bunyi undang undang di atas tersebut), sedangkan kalau pemilihan president mereka masih memberikan undangan untuk voting kepada kita kita para pelaku kawin campur yang tentunya masih memegang passport hijau.
Dan sepengetahuan saya hanya warga Negara Indonesia yang sah dan berhak untuk memilih atau mem voting sedangkan kita sebagai pelaku kawin campur di putus sepihak kewarganegaraannya, ( untuk property kita harus melepaskan dalam waktu satu tahun sedangkan untuk urusan pemilihan atau voting kita masih di harapkan atau di haruskan memilih) Adilkah itu?, kita berdomisili di luar negri belum tentu kita menjadi warga Negara di mana kita tinggal atau menjadi warga negara dari mana suami kita berasal dan belum tentu pula kita melepas kewarganegaraan kita sebagai warga negara Indonesia. MENANGGAPI prenuptial agreement menurutku bukanya enggan membuat prenup agreement akan tetapi karena ketidak tahuan kami kami pelaku kawin campur akan undang undang dan minimnya informasi dan ada kemungkinan juga kurangnya sosialisasi dari pihak yang bersangkutan so menjadikan undang undang tersebut tidak banyak yang mengerti.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/04/01/mixed-couples-better-prepared-tying-knot.html
A foreign husband is a challenge for an Indonesian woman.
She must be ready to have her rights as an Indonesian downgraded, as well as to be extorted by officials. However, the many bad experiences of previous mixed couples have become good lessons for new couples.
Renny Mayasari, 36, is one Indonesian who had prepared everything before marrying her Dutch husband.
“I did some research about marrying foreigners on the Internet and I found a lot of information from friends who had already gone through the process,” she said.
Unlike some other Indonesian women who were barred from owning property due to their foreign marriages, Renny was fully aware that she needed a prenuptial agreement to allow her to purchase a house and other things.
“I still dream of developing my tourism business in Indonesia. This prenuptial agreement will allow me to have property, even though my husband is foreigner,” Renny said, laughing.
Tini, 29, the wife of an Australian, also found important information about marrying foreigners on the Internet, including blogs written by mixed-marriage couples.
“When I processed my papers to the local religious affairs office [KUA], the officer asked for some money to expedite the process. When I asked him which regulation provided for that, he stopped pushing me,” Tini said.
She said that she did the paperwork herself at a lower cost than if the couple had hired an agency.
Before the Internet, mixed couples were often trapped in troublesome situations, which some blamed on lack of information from the government on the rights and consequences of Indonesians marrying foreigners.
“No one tells you about the importance of prenuptial agreements. Probably because this is not their business,” said Pijay, 30, an Indian citizen.
“This is why I don’t have a house or land even though I am married to an Indonesian. We were married in a hurry, and we knew nothing about prenuptial agreements,” he said.
However, mixed couples have found that one can put their children’s names on documents when buying property, or in the case of minors, they can appoint other family members as the children’s guardians.
Many Indonesian women married to foreigners such as Renny and Tini know that they are protected by the law — at least on paper.
Today Indonesia has two laws — the Citizenship Law and the Immigration Law — that address mixed-marriages. However, some of the laws overlap with previously existing legislation on marriage and labor.
The Indonesian Mixed Marriage Society (PerCa), which has around 250 members, mostly in Batam, Jakarta and Denpasar, welcomed the new laws, which allowed for dual citizenship for children before they came of age.
However some of the society’s members said many children of mixed marriages lost their Indonesian citizenship due to their parents ignorance of the law.
Article 41 of the Citizenship Law stipulated that children born to mixed marriage couples before the law was enacted had until Aug. 1, 2010, to obtain Indonesian citizenship.
After that date, children born before Aug. 1, 2006 would automatically be registered as foreign citizens, as was the case before the law was passed.
Rulita Anggraini, the chairwoman of PerCa, said the government failed to promote the 2006 Citizenship Law, particularly in border regions, where many Indonesians were married to foreigners.
“We are still striving to ask for more time from the government” regarding the arrangement of childrens’ citizenship, she said.
Previously, many Indonesian women could not retain custody of their children after their foreign husbands completed their jobs in Indonesia. The children usually followed their fathers back to their countries. To stay with their mothers required temporary stay permits (KITAS) or permanent stay permits (KITAP).
A KITAS allows foreigners to stay up to 24 months in Indonesia, while a KITAP allows foreigners to stay in Indonesia up to five years.
Although the costs are about Rp 3 million to extend a temporary-stay permit, the process is a notorious redtape headache. Many foreigners prefer to hire agencies, even though it makes the costs much higher.
Eva is one of the lucky women who benefited from the 2006 Citizenship Law. Her husband, a citizen of Senegal, died in 2006, leaving her with a baby boy.
“I was so lucky, because the law allowed me to register my boy as an Indonesian citizen, so I don’t need to pay for a KITAS or KITAP. I cannot imagine the future of my son with a foreign nationality, when he knows no one in Senegal,” Eva said.
The Citizenship Law also allows children to posess dual nationalities until they are 21 years old. In case the children decide to follow their foreign parent, they can more easily obtain a permanent-stay permit.
The new Immigration Law allows for permits for foreigners married to Indonesians.
“The new revision of the Immigration Law is based on humanity. We know that it will be difficult for foreigners to visit their families in Indonesia, so we adjusted the regulation,” Maryoto, the spokesman of the Immigration Directorate General said.
Since the amended Immigration Law was passed last year, the number of foreigners applying for visas sponsored by their spouses increased.
The number of foreigners asking for KITAS due to marriage jumped from 166 foreigners in 2010 to 3,794 in 2011, 2,365 of whom were men.
“Now, it is easier to be married to foreigners,” Tini said. “As long as you have all the information.”